I.
Pendahuluan
Memahami makna sebuah kalam bukanlah hal yang mudah. Mukhotob
harus peka dan jeli terhadap apa yang didengarnya. Kata-kata yang indah belum
tentu dapat dipahami hakikat maknanya. Bisa jadi makna yang ditangkap oleh
mukhotob berbeda dengan maksud yang dikehendaki mutakallim. Namun hal semacam
itu dapat diminimalisir apabila mutakallim memahami ilmu balaghah. Walaupun orang yang
diajak bicara adalah orang awam, kalam yang terucap dapat dipahami maknanya
dengan baik oleh pendengar jika kalam tersebut baligh.
Al Quran adalah kitab suci yang bukan hanya memiliki
estetika bahasa yang tinggi tetapi juga baligh, fashih dan jelas arahnya.
Didalam Al Quran banyak ayat yang pendek/singkat, namun makna yang terkandung
didalamnya sangat luas. Sebaliknya, ayat yang panjang terkadang kandungan isi
didalamnya singkat. Dan ada juga yang bermakna apa adanya. Namun tidak semudah
itu menerka panjang pendeknya makna dari panjang pendeknya kalimat. Dalam dunia
balaghah, kalam semacam ini disebut ijaz, ithnab, dan musawwah.
Makalah ini akan membahas ushlub/gaya bahasa ithnab
yang biasanya dikenal dengan majas perifrase. Harapan penulis, pembaca dapat memahami dan mampu menerapkan
ushlub ini ditempat dan waktu yang tepat.
II.
Rumusan masalah
A. Apa
Pengertian dan Kegunaan Ithnab?
B. Bagaimana
Teknik penyampaian ushlub Ithnab?
III.
Pembahasan
A. Pengertian
dan Kegunaan Ithnab
Dalam kitab At Ta’rifat, yang juga merupakan rumusan As Sakaky mengenai ithnab disebutkan :
أداء
المقصود بأكثر من العبارة المتعارفة[1] الإطناب:
“ithnab
adalah mengungkapkan maksud dengan lebih banyak kata-kata yang umumnya
diterima”
Menurut
Al Khothib Al Qazwiny:
تأدية أصل المراد بلفظ زائد عليه لفائدة[2]
“mendatangkan kehendak
(maksud) sebenarnya dengan lafadz yang ditambahkan karena adanya faedah”
Sedangkan
kalangan ahli balaghah mendefinisikan ithnab sebagai berikut:
“menambahkan lafadz dalam
pengungkapan makna karena adanya faedah, atau mengungkapkan makna dengan
kata-kata yang lebih sebagai penekanan dan penguatan
makna tersebut”
Dalam bahasa Indonesia,
gaya bahasa semacam ini disebut
majas perifrasa, yaitu menggantikan frasa yang pendek dengan suatu frasa
yang lebih panjang. Frasa atau kata yang digantikan tersebut dapat berupa nama
tempat, nama benda, atau nama sifat[4]
Namun
tidak semua kalimat yang diperpanjang/ ditambahkan lafadznya termasuk dalam
kategori ithnab. Jika penambahan lafadz dalam suatu kalimat mempunyai
faedah, maka penambahan tersebut disebut ithnab, sedangkan jika
penambahan tersebut tidak mengandung faedah, maka tidak disebut ithnab,
melainkan tathwil (tambahan-tambahan yang tidak nampak dan tidak ada faedah)
atau hasyw (tambahan-tambahan yang dapat dibedakan tanpa ada faedah).
Contoh ithnab:
Éb>§ öÏÿøî$# Í< £t$Î!ºuqÏ9ur `yJÏ9ur @yzy _ÉLøt/ $YZÏB÷sãB tûüÏZÏB÷sßJù=Ï9ur ÏM»oYÏB÷sßJø9$#ur
Contoh tathwil:
و قددت الأيدم لراهشيه و
الفي قولها كذبا و مينا
Contoh hasw:
و أعلم علم اليوم و الأمس قبله و لكنني عن علم ما
في غدا عمي
Adapun faedah atau kegunaan ithnab pada umumnya adalah untuk mempertegas, memperjelas, dan
menguatkan makna serta mencegah terjadiya kesalah pahaman terhadap maksud
sebuah kalam.
B.
Teknik Penyampaian
Ushlub Ithnab
1.
ذكر الخاص بعد العام
Yaitu
menyebutkan lafadz yang khusus setelah lafadz yang umum. Hal ini berfaedah mengingatkan kelebihan dari sesuatu yang khash itu.[5]
Contoh:
A¨t\s? èps3Í´¯»n=yJø9$# ßyr9$#ur $pkÏù ÈbøÎ*Î/ NÍkÍh5u `ÏiB Èe@ä. 9öDr& (القدر:
4)
“Pada malam itu turun Malaikat-Malaikat dan Malaikat Jibril
dengan izin Tuhannya
untuk mengatur segala urusan.”
Pada contoh diatas kata èps3Í´¯»n=yJø9$#
disebutkan
terlebih dahulu sebelum الروح dengan
tujuan mengistimewakan yang khash (malaikat Jibril), seakan-akan Jibril bukan
dari jenis Malaikat.
2.
ذكر العام بعد الخاص
Yaitu
menyebutkan kalimah yang umum setelah yang khusus. Hal itu bertujuan untuk menunjukkan keumuman hukum
kalimat yang bersangkutan dengan memberi perhatian tersendiri terhadap sesuatu
yang khas itu Contoh:
Éb>§ öÏÿøî$# Í< £t$Î!ºuqÏ9ur `yJÏ9ur @yzy _ÉLøt/ $YZÏB÷sãB tûüÏZÏB÷sßJù=Ï9ur ÏM»oYÏB÷sßJø9$#ur wur ÏÌs? t wÎ) ûüÏHÍ>»©à9$# #I$t7s?(نوح: 28)
“Ya Tuhanku! ampunilah Aku, ibu bapakku, orang yang masuk ke
rumahku dengan beriman dan semua orang yang beriman laki-laki dan perempuan.
dan janganlah Engkau tambahkan bagi orang-orang yang zalim itu selain
kebinasaan".
Makna
yang terkandung dalam ayat diatas adalah memohonkan ampunan untuk semua orang
mukmin, namun pelafalannya didahului dengan menyebutkan yang khusus dulu (aku,
kedua orang tuaku, orang yang masuk kerumahku dengan beriman), baru
kemudian yang umum (semua orang yang beriman laki-laki dan perempuan)
karena ada perhatian khusus terhadap orang-orang yang disebutkan di awal.
3.
الإيضج بعد الإبهام
Yakni
menyebutkan penjelasan setelah kalimah yang samar sebagai penguatan makna di
jiwa sami’. Penguatan makna ini terjadi karena maksud/informasi dari
mukhotib disampaikan dua kali, pertama disampaikan dalam bentuk global dan
samar, kemudian diulangi dalam bentuk yang jelas dan terperinci.
Contoh:
!$oYøÒs%ur Ïmøs9Î) y7Ï9ºs tøBF{$# cr& tÎ/#y
ÏäIwàs¯»yd
×íqäÜø)tB tûüÅsÎ6óÁB (الحجر:
66)
“dan telah Kami wahyukan kepadanya (Luth) perkara itu, Yaitu
bahwa mereka akan ditumpas habis di waktu subuh."
4.
التكرير
xx.
ôqy
tbqßJn=÷ès?
, §NèO
xx.
t$ôqy
tbqßJn=÷ès? (التكاثر:
3-4)
“janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui (akibat
perbuatanmu itu), dan janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui”.
b.
Pengulangan untuk keterangan bilangan
yang saling berkaitan (تعدد
المتعلق) seperti yang disebutkan
berulang-ulang dalam surah Ar Rahman:[7]
Ädr'Î6sù ÏäIw#uä $yJä3În/u Èb$t/Éjs3è? (الرحمن: 13)
"Maka nikmat Tuhan kamu
yang manakah yang kamu dustakan?"
c.
Pengulangan untuk mencegah terpotongnya
makna dalam jumlah yang panjang. Seperti yang terdapat dalam surah Yusuf ayat
4:[8]
øÎ) tA$s% ß#ßqã ÏmÎ/L{ ÏMt/r'¯»t ÎoTÎ) àM÷r&u
ytnr& u|³tã $Y6x.öqx. }§ôJ¤±9$#ur tyJs)ø9$#ur öNåkçJ÷r&u
Í< úïÏÉf»y (يوسف: 4)
“(ingatlah), ketika Yusuf berkata kepada ayahnya: "Wahai
ayahku, Sesungguhnya aku bermimpi melihat sebelas bintang, matahari dan
bulan; kulihat semuanya sujud kepadaku."
Juga dalam surah Ali Imran ayat
188:
w
¨ûtù|¡øtrB tûïÏ%©!$# tbqãmtøÿt !$yJÎ/ (#qs?r& tbq6Ïtä¨r br& (#rßyJøtä $oÿÏ3 öNs9 (#qè=yèøÿt xsù Nåk¨]u;|¡øtrB ;oy$xÿyJÎ/ z`ÏiB É>#xyèø9$# ( öNßgs9ur ë>#xtã ÒOÏ9r& (ال عمران:
188)
“janganlah sekali-kali kamu menyangka, hahwa orang-orang
yang gembira dengan apa yang telah mereka kerjakan dan mereka suka supaya
dipuji terhadap perbuatan yang belum mereka kerjakan janganlah kamu
menyangka bahwa mereka terlepas dari siksa, dan bagi mereka siksa yang
pedih”.
Dalam contoh pertama terdapat pengulangan kata رئيت (melihat) dan dalam contoh kedua terdapat
pengulangan لا تحسبن
(janganlah
kamu menyangka). Pengulangan tersebut dilakukan karena dua informasi yang
terkandung dalam ayat tersebut terpisah terlalu jauh, dan dikhawatirkan
mukhothob lupa dengan informasi yang pertama.[9]
d.
Pengulangan yang dimaksudkan untuk
menunjukkan proses/ urutan (قصد
الإستيعاب). Contoh: قرأت الكتاب بابا بابا, و فهمته كلمة كلمة
5. الإعتراض
Yaitu
menyisipkan jumlah ditengah kalam, atau diantara dua kalam yang bersambungan
maknanya. Jumlah ini disebut jumlah mu’taridhah (جملة المعترضة) atau anak kalimat.
tbqè=yèøgsur ¬! ÏM»oYt7ø9$# ¼çmoY»ysö7ß Nßgs9ur $¨B cqåktJô±t (النحل:
57)
“dan mereka menetapkan
bagi Allah anak-anak perempuan. Maha suci Allah, sedang untuk mereka
sendiri (mereka tetapkan) apa yang mereka sukai (Yaitu anak-anak laki-laki).
6.
التذييل
Tadzyil
adalah mengikutkan jumlah kepada jumlah lainnya, padahal jumlah yang
mengikutinya itu mencakup makna jumlah yang diikutinya.[10]
Contoh:
ö@è%ur uä!%y` ,ysø9$# t,ydyur ã@ÏÜ»t6ø9$# 4 ¨bÎ) @ÏÜ»t7ø9$# tb%x. $]%qèdy (الإسراء:
18)
“dan Katakanlah: "Yang benar telah datang dan yang batil
telah lenyap". Sesungguhnya yang batil itu adalah sesuatu yang pasti
lenyap”
7.
الإحتراس
Ikhtiras
adalah penambahan kalimat untuk mencegah terjadinya kesalah pahaman terhadap
maksud yang ingin disampaikan mutakallim.[11]
Contoh:
$pkr'¯»t tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä `tB £s?öt öNä3YÏB `tã ¾ÏmÏZÏ t$öq|¡sù ÎAù't ª!$# 5Qöqs)Î/ öNåk:Ïtä ÿ¼çmtRq6Ïtäur A'©!Ïr& n?tã tûüÏZÏB÷sßJø9$# >o¨Ïãr& n?tã tûïÍÏÿ»s3ø9$# crßÎg»pgä Îû È@Î6y «!$# wur tbqèù$ss sptBöqs9 5OͬIw 4 y7Ï9ºs ã@ôÒsù «!$# ÏmÏ?÷sã `tB âä!$t±o 4 ª!$#ur ììźur íOÎ=tæ (المائدة:
54)
“Hai orang-orang yang beriman, Barangsiapa di antara kamu yang
murtad dari agamanya, Maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah
mencintai mereka dan merekapun mencintaiNya, yang bersikap lemah lembut
terhadap orang yang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir,
yang berjihad dijalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka
mencela.
Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan
Allah Maha Luas (pemberian-Nya), lagi Maha mengetahui.”
Ditambahkannya أعزة على الكافرين adalah sebagai penjelas agar tidak terjadi
kesalah pahaman bahwa kaum yang dimaksud bukanlah kaum yang lemah, seandainya
hanya diucapkan أذلة على المؤمنين , kemungkinan akan terjadi kesalah
pahaman.[12]
Contoh
lain adalah dalam sya’ir:
فسقَى دِيارك غيرَ مفسدها صوبُ الرَّبيْع وديمَةٌ تهْمِى[13]
"Maka
rumahmu disirami—bukan dirusak—oleh hujan musim semi dan hujan tetap yang
turun."
Jika kata
yang memiliki arti “bukan dirusak” dihilangkan, bisa jadi timbul
pemahaman bagi pendengar, bahwa hujan yang mengguyur akan membawa dampak
kerusakan. Maka dari itu perlu ditambahkan kata yang sesuai dengan maksud
pembicara.
8.
الإيغال
Ighol
adalah mengakhiri pembicaraan dengan ucapan yang berfaedah, meskipun
pembicaraan itu cukup tanpa ucapan tersebut.[14]
Contoh:
uä!%y`ur ô`ÏB $|Áø%r& ÏpuZÏyJø9$# ×@ã_u 4Ótëó¡o tA$s% ÉQöqs)»t (#qãèÎ7®?$#
úüÎ=yößJø9$#
ÇËÉÈ (#qãèÎ7®?$# `tB w ö/ä3é=t«ó¡o #\ô_r&
Nèdur tbrßtGôgB ÇËÊÈ
“dan datanglah dari ujung kota, seorang laki-laki dengan
bergegas-gegas ia berkata: "Hai kaumku, ikutilah utusan-utusan itu".
Ikutilah orang yang tiada minta Balasan kepadamu; dan mereka adalah orang-orang
yang mendapat petunjuk”.
IV.
Kesimpulan
Ithnab adalah menambahkan lafadz dalam
pengungkapan makna karena adanya faedah, atau mengungkapkan makna dengan
kata-kata yang lebih sebagai penekanan dan penguatan
makna tersebut. Ada dua hal yang menyerupai ithnab yaitu tathwil dan
hasyw.
Beberapa teknik ithnab:
1.
ذكر العام بعد الخاص
2.
ذكر الخاص بعد العام
3. الإيضج بعد الإبهام
4. التكرار
5. الإعتراض
6. التذييل
7. الإختراص
8.
الإيغال
V.
Penutup
Puji
syukur kehadirat Allah Yang Esa atas segala limpahan karunia-Nya sehingga
makalah tentang al ithnab ini
terselesaikan. Tak lupa penulis sampaikan terima kasih sebesar-besarnya kepada
bapak Mahfudz Shidiq selaku dosen pengampu mata kuliah Balaghah I, karena atas
arahan dan bimbingan beliaulah makalah ini dapat diselesaikan dengan baik.
Penulis
sebagai insan dho’if sudah barang tentu mempunyai banyak kekurangan, baik dari
dalam diri pribadi hingga dalam penyusunan makalah ini. Oleh karena itu, kritik
dan saran dari pembaca sangat penulis nantikan sebagai bahan perbaikan dalam
penyusunan makalah berikutnya. Semoga makalah ini bermanfaat bagi penulis dan
pembacanya.
DAFTAR PUSTAKA
Al Ahdhori, Abdur Rahman,
Jauhar Al Maknun, Terj: Ahmad Sunarto, surabaya:
mutiara ilmu, 2009.
Al hasyimi, Ahmad
, Jawahir Al Balaghah fi Al Ma’ani Wa Al badi’ Wa Al Bayan, Beirut: Daar
Al Fikr, 1994.
Al Jarim,
Ali dan Amin, Musthafa, Al balaghah Al Wadhihah, Terj: Mujiyo
Nurkholish, Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2010.
Al Qazwiny, Al Khotib, Al Idhah Fi Ulum Al Balaghah, Lebanon: Daar Al Kutub Al Ilmiyah.
Atiq, Abdul Aziz, ‘Ilm Al Ma’any, Beirut: Daar An Nahdhah Al Arabiyyah, 1985.
http://all4sharing.blogspot.com/2012/11/musawah-ijaz-dan-ithnab.html, diakses pada: minggu 16 Desember 2012.


[3] Ahmad Alhasyimi,
Jawahir Al Balaghah fi Al Ma’ani Wa Al badi’ Wa Al Bayan, (Beirut: Daar Al
Fikr, 1994), hlm. 197.
[5] Ali Al Jarim dan Musthafa
Amin, Al balaghah Al Wadhihah, Terj: Mujiyo Nurkholish, (Bandung: Sinar
Baru Algensindo, 2010), hlm. 356.
[7] Al Khotib Al
Qazwiny, Al Idhah Fi Ulum Al Balaghah, (Lebanon: Daar Al Kutub Al Ilmiyah),hlm. 153.
[10] Abdur Rahman Al
Ahdhori, Jauhar Al Maknun, Terj: Ahmad Sunarto (surabaya:
mutiara ilmu, 2009), hlm. 81.
[11] http://all4sharing.blogspot.com/2012/11/musawah-ijaz-dan-ithnab.html, diakses pada:
minggu 16 Desember 2012.