try this

makalah kebudayaan islam pra islam



I.                   Pendahuluan
Agama- agama di Indonesia memiliki peran sangat panjang dalam kehidupan bermasyarakat. Indonesia sering disebut negara kaum beragama, religius, dibuktikan dari sekian banyak agama yang diyakini masyarakat. Secara faktual, agama di Indonesia berjumlah sangat banyak, dari agama yang sering disebut agama samawi (Yahudi, Kristen, dan Islam) hingga agama-agama lain seperti Hindu, Buddha, Konghucu, Sin-to, dan lain sebagainya. Jauh sebelum datangnya agama-agama besar seperti Islam, Kristen, Katolik, Hindu, dan Buddha, bangsa Indonesia menganut kepercayaan kepada Tuhan (animisme dan dinamisme). Kepercayaan inilah yang oleh Karen Armstrong (2002) disebut monoteisme primitif, percaya kepada Tuhan yang Esa.
Menurut mereka, setiap materi memiliki kesamaan sifat dengan manusia. Sebagai contoh, api memiliki sifat yang sama dengan manusia. Api memiliki kekuatan untuk membunuh atau melenyapkan apapun dengan panasnya sebagaimana manusia mampu membunuh binatang dengan kekuatan tangannya. Karena itulah, api mempunyai ruh. Bagi manusia primitif, menyembah api adalah proses menghormati keberadaan api itu sendiri. Penyembahan tersebut dilakukan agar tidak terjadi kebakaran seperti kebakaran hutan, sedangkan kebakaran diyakini sebagai bentuk kemurkaan api. Selanjutnya, berkembanglah paham banyak tuhan, banyak roh, banyak dewa, atau banyak kekuatan ghaib. Setiap kawasan bumi, hutan, sungai, laut, atau bahkan ruang angkasa, semuanya diyakini memiliki kekuatan tersendiri.
Manusia mulai menganalisa setiap peristiwa yang terjadi di sekitarnya. Sebelumnya, manusia primitif mulai mengeluarkan teori-teori tentang hakikat benda atau materi. Ia mulai menggabungkan antara keberadaan ruh manusia dengan keberadaan benda lain seperti air, udara, api, dan tanah.
Animisme berkembang lebih awal daripada dinamisme. Animisme menitik beratkan pada perkembangan ruh manusia. Mulai dari sini, manusia primitif menyimpulkan bahwa setiap materi yang memiliki sifat yang sama, maka memiliki substansi yang sama pula. Jika manusia mati dan hidup, tidur dan terjaga, kuat dan lemah, diam dan bergerak, kemudian manusia diyakini memiliki ruh, maka pepohonan, binatang, laut, api, matahari, bulan, dan materi-materi lainnya pun memiliki ruh seperti manusia.
Agama Hindu sebenarnya bukanlah agama dalam arti yang biasa. Agama Hindu adalah suatu bidang keagamaan dan kebudayaan, yang meliputi zaman sejak kira-kira 1500 SM hingga zaman sekarang. Didalam perjalanannya sepanjang abad-abad itu agama Hindu berkembang sambil berubah dan terbagi-bagi sehingga memiliki ciri-ciri yang bermacam-macam, yang oleh penganutnya kadang-kadang diutamakan, tetapi kadang-kadang tidak diindahkan sama sekali. Berhubungan dengan itu Govinda Das mengatakan bahwa agama Hindu sesungguhnya adalah suatu proses antropologis, yang hanya karena nasib yang ironis saja diberi nama agama.

II.                Rumusan Masalah
A.    Bagaimana Dinamika Agama Hindu-Budha Masuk di Indonesia?
B.     Bagaimana Kebudayaan Jawa Pra Islam?

III.             Pembahasan
A.    Dinamika Agama Hindu-Budha masuk di Indonesia
Sejarah mencatat bahwa di Jawa pernah mengalami “mutasi pertama” atau lebih tepatnya disebut indianisasi. Sebenarnya kemugkinan adanya pengaruh India tidak pernah terdeteksi oleh para peneliti Eropa sebelum awal abad ke-19. Rafles mengangkat indianisasi menjadi topik yang menarik dengan mengaitkan antara Jawa dan India. Gagasan Indianisasi ini dilanjutkan oleh para peneliti Belanda lainnya, yaitu J. L. A. Brandes (1957-1905), H. Kern (1833-1917), N. J. Krom (1883-1945), dan W. F. Stutterheim (1892-1942).
  Pertama, asal-usul suku bangsa Jawa yang dijelaskan oleh C. C. Berg dalam bentuk legenda tentang seorang bernama Aji Saka. Ia merupakan putra Brahmana dari tanah India. Aji datang di tanah Jawa, dan mendapatkan sebuah negeri dengan nama Medangkamulan, kini berada di daerah Grobogan, Purwodadi. Negeri ini dikuasai oleh raja pemakan daging manusia yang bernama Dewatacengkar. Aji Saka menawarkan diri menjadi makanan raja dengan syarat ia akan menerima satu bidang tanah seluas desternya sebagai ganti. Raja pun menerima syarat ini dengan senang hati, tetapi ia terkejut karena dester milik Aji semakin lama semakin besar, bahkan akhirnya menutupi seluruh wilayah kerajaannya. Ia menerima kekalahannya dengan mengundurkan diri, serta menyerahkan kekuasannya kepada Aji Saka pada tahun 78 Masehi.
Menurut C. C. Berg legenda di atas menjadi simbolisme atau lambang yang dipergunakan oleh nenek moyang orang Jawa untuk memudahkan ingatan perhitungan tarikh Jawa, yaitu tarikh Saka. Hitungan ini diawali dengan runtuhnya kepercayaan animisme karena masuknya pengaruh Hindu di Jawa. Demikian juga syair tentang kematian dua orang pengiring Aji Saka, menjadi suatu simbolisme yang mempermudah ingata terhadap susunan abjad Saka.
Kedua, penafsiran indianisasi yang lain, yang kurang historis diberikan dalam naskah Jawa abad 16, Tantu panggelaran yang merupakan sejenis buku petunjuk pertepaan- pertepaan Hindu di Jawa. Tulisan itu menjelaskan tentang asal mula Bhatara Guru (siva) yang pergi ke Gunung Dieng untuk bersemedi dan meminta kepada Brahma dan Wisnu supaya pulau Jawa diberi peghuni. Brahma menciptakan kaum laki-laki dan Wisnu kaum perempuan, lalu semua dewa memutuskan untuk menetap di bumi baru itu dan memindahkan Gunung Meru yang sampai saat itu terletak di Negeri Jambudvipa atau di India. Sejak saat itu gunung tinggi yang menjadi lingga dunia (pingganingbhuwana) atau pusat dunia itu tertanam di Jawa dan pulau Jawa menjadi kesayangan dewata.
Ketiga, sebagai kelanjutan dari teori mutasi perlu dicatat bahwa banyak nama tempat di pulau Jawa yang berasal dari bahasa Sansekerta,yang membuktikan adanya kehendak untuk menciptakan kembali geografi India yang dianggap keramat itu. Bukan hanya gunung-gunungnya, tetapi juga kerajaan-kerajaan yang namanya dipinjam dari Mahabharata. Demikia pula relief-relief Borobudur tidak dapat ditafsirkan tanpa mengetahui risalah-risalah India tentang Mahayana. Namun demikian tak mungkin antara keduannya, yaitu Jawa dan India disatukan.[1] 
Secara artefaktual, beberapa peninggalan agama Hindu dan Budha adalah terawal yang dijumpai di Nusantara. Di Jember pernah dijumpai arca Budha batu yang berukuran sekitar 3 m dalam sikap berdiri. Dua arca Wisnu dijumpai pula di daerah Batujaya-Karawang, arca itu berukura kecil dan terbuat dari batu hitam, bahan yang tidak dikenal di wiliyah tersebut. [2]

B.     Kebudayaan Jawa Pra Islam; Masa Hindu-Budha
Suku Jawa adalah orang-orang yang dalam kehidupan kesehariannya menggunakan bahasa jawa dengan berbagai keragaman dialek secara turun temurun. Menurut informasi dari serat pustaka jawa purwa abad pertama masehi, manusia masih ingkar terhadap Tuhan mereka animisme-dinamisme yaitu menyembah bentuk kebendaan atau paganisme. Sehingga pada masa itu muncul falsafah Dewata Cengkar, angkara murka terjadi dimana-mana, hukum rimba berlaku. Seperti siapa lebih kuat berhak menerkam dan membunuh yang lebih lemah, hal itu digambarkan dengan istilah “Prabu Dewata Cengkar”, yang berarti “dewata” bermakna kedewaan atau ketuhanan dan “cengkar” berarti ingkar. Sehingga istilah dewata cengkar merupakan simbol bahwa orang Jawa pada waktu itu ingkar Tuhan. Prabu Dewata Cengkar digambarkan sebagai raja yang memiliki sifat durga angkara yaitu, angkara murka dan tidak mengenal aturan dan sopan santun. Sifat buruk manusia dalam terminologi Islam Jawa digambarkan dengan nafsu amarah.[3]
Salah satu hal yang patut dicatat dalam proses perkembangan budaya Jawa pada fase ini adalah adanya pengaruh yang kuat dari budaya India (Hindu-Budha). Pengaruh Hindu-Budha dalam masyarakat Jawa bersifat ekspansif, sedangkan budaya Jawa yang menerima pengaruh dan menyerap unsur-unsur Hinduisme-Budhisme setelah melalui proses akulturasi tidak saja berpengaruh pada sistem budaya, tetapi juga berpengaruh terhadap sistem agama.
Cerita Ajisaka yang datang ke pulau Jawa kemudian ia mengubah huruf India ke dalam huruf Jawa dan pemanfaatan tahun Saka untuk mencatat peristiwa-peristiwa sejarah Jawa. Perkembangan ini pada gilirannya membuka jalan bagi proses transformasi budaya melalui gerakan penerjemahan kitab Mahabarata dan Ramayana dari bahasa Sansekerta ke dalam bahasa Jawa kuno. Karena golongan cendekiawan sendiri yang aktif dalam penyebaran unsur-unsur Hinduisme, maka golongan cendekiawan Jawa menjadi kaum bangsawan atau priyayi, yang pada akhirnya ajaran Hindu-Budha mengalami proses Jawanisasi.
Sejak awal, budaya Jawa yang dihasilkan pada masa Hindu-Budha bersifat terbuka untuk menerima agama apapun dengan pemahaman bahwa semua agama itu baik, maka sangatlah wajar jika kebudayaan Jawa bersifat sinkretis (bersifat momot atau serba memuat). Agama Hindu-Budha di negeri asalnya justru saling bermusuhan, tetapi keduanya dapat dipersatukan menjadi konsep agama yang sinkretis, yaitu agama ‘Syiwa-Budha’.
Ciri lain dari budaya Jawa pada saat itu adalah sangat bersifat teokratis. Pengkultusan terhadap raja-raja sebagai titisan dewa adalah salah satu buktinya. Dalam hal ini Onghokham menyatakan: “Dalam kerajaan tradisional, agama dijadikan sebagai bentuk legitimasi. Pada jaman Hindu-Budha diperkenalkan konsep dewa-raja atau raja titising dewa. Ini berarti bahwa rakyat harus tunduk pada kedudukan raja untuk mencapai keselamatan dunia akhirat. Agama diintegrasikan ke dalam kepentingan kerajaan/kekuasaan. Kebudayaan berkisar pada raja, tahta dan keraton. Raja dan kehidupan keraton adalah puncak peradaban pada masa itu.”
Penanaman watak teokratis dan watak supremasi seorang raja kepada rakyatnya dilakukan melalui media hiburan rakyat, yaitu pementasan wayang. Dalam pertunjukan wayang, dieksposisikan tatakrama feodal yang halus dan berlaku di keraton serta lagu-lagu (tembang) merdu beserta gamelannya. Dalam cerita wayang disodorkan pula konsep Binathara dengan segala kesaktiannya dan pusaka-pusaka keraton yang berdaya magis.
Pada konteks perkembangan budaya istana atau keraton, kebudayaan ini dikembangkan melalui “abdi dalem” atau pegawai istana mulai dari pujangga sampai arsitek. Seorang raja mempunyai kepentingan-kepentingan menciptakan simbol-simbol budaya tertentu untuk melestarikan kekuasaannya. Biasanya kebudayaan yang mereka ciptakan berupa mitos-mitos, yang kemudian mitos tersebut dihimpun dalam “babad, hikayat, lontara” dan sebagainya. Adapun tujuan yang hendak dicapai dalam menciptakan mitos adalah menciptakan budaya simbol-simbol mitologis kerajaan agar rakyat loyal kepada kekuasaan raja.[4]
Pengaruh Hinduisme menumbuhkan adanya dua lapisan tradisi budaya Jawa yakni tradisi besar yang berkembang dilingkungan istana yang halus dan tradisi kecil atau para petani yang buta huruf yang berpusat pada religi animisme dan dinamisme. Tradisi besar yang berkembang dilingkungan istana kerajaan yang bersifat kehinduan laksana bukit menjulang tinggi diatas budaya sebagai lembah-lembahnya.
Pada dasarnya budaya dimasa Hindu Budha merupakan manifestasi kepercayaan Jawa semenjak datangnya Hindu Budha ditanah Jawa. Kegiatan tersebut berupa upaara, tradisi yang sebagian masih dapat dilihat keberadaannyasampai saat ini. Upacara tersebut dapat dilakukan untuk memperoleh kesejahteraan dari para Dewa.
Di masa Majapahit para agamawan melaksanakan ritual kerajaan dengan baik, dan menjaga candi-candi yang kebanyakan merupakan tempat pemujaan leluhur saja. Kraton merelakan hasil surplus dari tidak kurang 27 bidang tanah milik otonom (sima swatantra), antara lain di Kwak dekat Magelang, di Yogya dan Ponorogo yang dianugerahkan kepada rohaniwan agama Siva dan Budha untuk memohonkan kesejahteraan itu belum terhitung tanah lain yang dinamakan tanah milik bebas (dharma lepas) untuk menjadi drwya hyang atau bwat hyang (pajak untuk dewata). Bila di satu pihak para raja membebaskan tanah milik komunitas agamawan dari pajak, maka dipihak lain mereka memungut pajak dan menuntut kerja rodi dari semua warga desa lainnya yang langsung berada di bawah kekuasannya. Keluarga raja tak mungkin hidup tanpa adanya pajak kerajaan (drwya aji) dan tugas-tugas wajib untuk raja (gawai aji) yang mestinya tidak dikenakan pada sima.
Masyarakat Jawa dimasa Hindu tampaknya berlapis tiga, yaitu: Pertama, terdiri dari kaum agamawan Hindu dan Budha yang memiliki tanah bebas pajak. Kedua, keluarga raja yang berkuasa atas para raka (penguasa) lokal dengan bantuan kaum agamawan. Ketiga, adalah masyarakat desa biasa yang dipungut pajak oleh raja dengan perantaraan mangilala drwya atau pemanen pajak. Dengan memperbanyak jumlah sima para raja berkepentingan menjaring agamawan, sedangkan dari sudut kekayaan material, mereka juga berkepentingan untuk mengembangkan budidaya padi.
Ritual lainnya di Jawa maupun Pasundan untuk memperoleh kesejahteraan ekonomi adalah upacara wiwil (permulaan musim tanam) yang diwujudkan pada pemujaan dewi padi, Dewi Sri. Sekalipun nama Sri berasal dari India, mitos itu terdapat di seluruh Nusantara sampai pulau-pulau yang sama sekali tidak tersentuh oleh India. Versinya berbeda-beda tetapi ceritanya sederhana.
Salah satu upaara lain adalah kurban kerbau yang sejak dini diwarnai mitologi India. Di Jawa Tengah dan Jawa Timur terdapat sejumlah patung Durga Mahisasuramardini, artinya Durga yang sedang membantai raksasa berwujud kerbau. Louis Harles Damais mengemukakan “batu pakaian” dalam bahasa Jawa disebut maesan, mungkin karena batu itu menggantikan tonggak kurban tempat penambatan kerbau (maesa) yang umumnya disembelih pada waktu pemakaman pada zaman pra Islam. Dewasa ini pun tidak ada gedung yang ukup besar yang dibangun tanpa penguburan kepala kerbau.
Upacara lainnya yang sangat penting adalah pagelaran wayang kulit. Bukti tertua tentang wayang kulit berasal dari abad ke-10, beruapa prasati Bali yang menyebut digelarkannya sebuah lakon kelahiran Bima (Bima bungkus) yang kadang-kadang masih dipertunjukkan dewasa ini.
Dan lagi, salah satu bentuk pemujaan yang menarik adalah kultus terhadap Ratu Kidul yang menguasai Laut Selatan atau Samudera Hindia. Ratu Kidul konon tidak hanya menguasai ombak-ombak Samudera Selatan yang mengamuk, tetapi juga semua dedemit yang melanda dan mengancam kerajaan.
Penampilan kerucut-kerucut nasi dalam upacara keagamaan sebagai garebeg sudah terbukti ada sejak abad ke-9. Garebeg adalah kelanjutan dari suatu ritual kuno di ibukota raja, dan berfungsi untuk memulihkan keterpaduan kerajaan pada kesempatan itu para wakil propinsi datang menghaturkanupeti dan rakyat bergembira ria. Upaara ini hampir sama dengan Sekaten di alun-alun menjaga keserasian antara kerajaannya dan kosmos. Sementara itu, warga desa juga berusaha menapai tujuan yang sama pada tingkat yang lebih sederhana.[5]

IV.             Penutup
    Alhamdulillah segala puji hanya untuk Allah, makalah ini dapat terselesaikan. Walaupun dalam penyajian ataupun penyampaian masih banyak kekurangan. Untuk itu pemakalah mengharapkan kritik dan saran yang membangun sehingga makalah selanjutnya akan menjadi lebih baik. Pemakalah juga mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang bersangkutan dalam pembuatan makalah ini. Semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi semua pihak. Amin.





















[1] Darori Amin. 2000. Islam dan Kebudayaan Jawa. Yogyakarta: GAMA MEDIA. Hlm: 10-12
[2] Mukhlis Paeni. 2009. Sejarah Kebudayaa Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers. Hlm: 36
[5] Abdul Jamil, dkk. 2000. Islam dan Kebudayaan Jawa. Yogyakarta: GAMA MEDIA. Hlm:14-20

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

cari makalah

Search Term:

Most Reading

Diberdayakan oleh Blogger.