try this

مكان الإستعارة من البلاغة

I.              PENDAHULUAN
Al-Bayân secara etimologi berarti penyingkapan, penjelasan dan keterangan. Sedangkan secara terminologi, ‘Ilm al-bayân mrupakan ilmu untuk mengetahui tentang cara mendatangkan satu pengertian yang dimaksud dengan perkataan yang sesuai dengan tuntutan keadaan dan dengan gaya bahasa yang berbeda dalam menjelaskan maksudnya. Mayoritas ahli balaghah sepakat bahwa kajian Ilmu bayan memuat tiga pokok bahasan, yaitu (1) uslȗb al-tasybȋh (gaya bahasa smile/ penyerupaan), (2) uslȗb al-majȃz  (gaya bahasa metafora), (3) uslȗb al-kinȃyah (gaya bahasa metonimie). Dan masih ada yang lain yaitu uslȗb al-istiȃ’arah (peminjaman kata), dan uslȗb al-ta’rȋd.

II.           RUMUSAN PEMBAHASAN
A.    Bagaimana kedudukan isti’arah dalam balaghah?
B.     Apa Saja Nilai-nilai Keunggulan Isti’arah?
III.        PEMBAHASAN
A.    Kedudukan Isti’arah Dalam Balaghah
Istiârah adalah majâz dimana hubungan antara makna asli dengan makna kiasan bersifat hubungan ke-serupa-an.[1] Konsep isti‘ârah sebenarnya bermuara dari bentuk gaya bahasa tasybîh, dan gaya bahasa isti‘ârah adalah ungkapan tasybîh yang paling tinggi.[2] Jika pada uslȗb al-tasybȋh musyabah dan musyabah bihnya ditampakkan, sedangkan dalam uslȗb al-istiȃ’arah dengan membuang salah satu dari dari musyabah atau musyabah bihnya.
Dalam kajian balaghah, isti’arah memiliki nilai yang lebih besar daripada tasybȋh balȋgh, karena tasybȋh yang balȋgh sekalipun disusun atas anggapan bahwa musyabah dan musyabah bih-nya sama, namun tasybih-nya tetap disengaja dan terlihat. Berbeda dengan isti‘ârah yang padanya tasybȋh diabaikan serta tersembunyi.[3]

B.     Nilai-nilai Keunggulan Isti’arah
Sebagaimana dijelaskan diawal bahwa konsep isti‘ârah sebenarnya bermuara dari bentuk gaya bahasa tasybîh. Namun isti‘ârah memiliki nilai lebih dibandingkan tasybih. jika nilai tasybîh dalam balaghah terdapat pada dua segi, yaitu pada penyusunan kata-katanya dan pada pembuatan musyabah bih yang jauh dari jangkau hati kecuali hati orang yang berjiwa seni, yang dianugerahi Allah dengan bakat sastra yang normal untuk mengenal aspek-aspek keserupaan beberapa hal secara detal, dan dikaruniai-Nya  kemampuan untuk merangkai beberapa makna  dan mencabang-cabangkannya hingga hampir tak terbatas, maka isti‘ârah juga memiliki nilai keunggulan.
1.         Nilai isti‘ârah dari segi lafaz-nya
Nilai isti‘ârah dari segi lafaz-nya adalah bahwa susunan kalimatnya seakan-akan tidah mengindahkan tasybîh, namun mengharuskan kita untuk menghayalkan suatu gambaran baru yang keindahannya memalingkan kita dari kandungan kalimat berupa tasybîh yang terselubung.
Contoh kata-kata Al-Buhturi tentang Al-Fath bin Khaqan;
يَسْمُوْ بِكَفٍّ عَلَى الْعَافِيْنَحَانِيَةٍ g تَهْمِيْ وَطَرْفٍ إِلَى الْعِلْيِاءِ طَمَّاحٍ
Artinya; “Ia menjadi tinggi dengan telapak tangan yang lemah lembut, dan mengalir kepada orang-orang yang menghendaki kebaikan, dan dengan mata yang tekun mencari keluhuran”.

Pada ungkapan ini “telapak tangan” dikhayalkan dalam bentuk awan tebal yang mencurahkan air hujannya yang deras kepada orang-orang yang mengharapkannya. Sehingga gambaran seperti ini telah menguasai perasaan kita sehingga melupakan tasybîh yang terkandung dalam kalimat.

2.         Nilai isti‘ârah dilihat dari segi rekayasa dan keindahan
Adapun nilai isti‘ârah dilihat dari segi rekayasa dan keindahan berilusi dan pengaruhnya dalam jiwa para pendengarnya adalah adanya kesempatan yang leluasa untuk berkreasi dan adanya arena lomba bagi para pakar sastra.
Hal ini bisa dilihat dari firman Allah swt. Dalam menggambarkan neraka memalui surat Al-Mulk ayat 8;
ߊ%s3s? 㨍yJs? z`ÏB Åáøtóø9$# ( !$yJ¯=ä. uÅ+ø9é& $pkŽÏù Ólöqsù öNçlm;r'y !$pkçJtRtyz óOs9r& ö/ä3Ï?ù'tƒ ֍ƒÉtR ÇÑÈ  
Artinya; “Hampir-hampir (neraka) itu terpecah-pecah lantaran marah. Setiap kali dilemparkan ke dalamnya sekumpulan (orang-orang kafir), penjaga-penjaga (neraka itu) bertanya kepada mereka: "Apakah belum pernah datang kepada kamu (di dunia) seorang pemberi peringatan?"

Dari ayat tersebut maka akan tergambar dibenak kita wujud neraka dalam bentuk makhluk yang besar, kejam, angker wajahnya, muram, dan bergejolak dadanya karena mendendam marah.
Kemudian perhatikan ucapan Abu ‘Atiyah dalam memberi ucapan selamat kepada Al-Mahdi setelah menjadi khalifah;
أَتَتْهُ الْخِلِافَةُ مُنْقَادَةً إِلَيْهِ تُجَرِّرُ أَذْيَالَهَا
Artinya; “Jabatan kekhalifahan datang duduk kepadanya dengan menyeret ekor-ekornya”.

Dari ungkapan diatas didapatkan bahwa jabatan kekhalifahan sebagai seorang wanita lembut dan halus, serta perayu yang memabukkan, dan menjadikan fitnah bagi seluruh manusia. Ia menolak dan senantiasa berpaling dari mereka. Akan tetapi ia datang kepada Al-Mahdi dengan patuh, manja dan mesra sambil menarik kain selendangnya karena hormat dan penuh rasa rendah hati.
Lalu perhatikan pula ucapan Asy-Syarif Ar-Ridha tentang perpisahan;
نَسْرِقُ الدَمْعَ فِي الْجُيُوْبِ حَيَاءً g وَبِنَا مَا بِنَا مِنَ الْأَشْوَاقِ
Artinya; “Aku menyembunyikan air mataku dikantong baju karena malu, dan juga kerinduan dalam hatiku”.

Sang penyair menyembunyikan air matanya sehingga ia tidak dicela sebagai orang yang lemah dalam menghadapi perpisahan. Meski sebenarnya ia dapat menyatakan dengan “Nasturu ad-dam’a fil-juyuubi hayaa’an”, akan tetapi ia hendak mencapai puncak ketinggian dalam menyajikan keterangan karena Nasriqu (Aku menyembunyikan) itu menggambarkan dalam khayalmu ketakutannya yang sangat terhadap diketahuinya kelemahan dirinya, dan menggambarkan kemahiran dan kecepatannya menyembunyikan air mata dari pengawasan pengelihatan orang lain.



[2] Bakrî Syaikh Amîn, al-Balâghah al-‘Arabiyah fî Tsaubihâ al-Jadîd al-Bayân, juz.II, (Beirut: Dâr ‘Ilm li al-Malâyîn, 1995), h. 114
[3] ‘Ali Al Jarami dan Mustofa Amin, al Balaghatu al Wadhihatu, li Bayaani wa al Ma’aani wa al Badii’,(Jakarta: Sa’adiyah Putra, tt), hlm. 146
READ MORE - مكان الإستعارة من البلاغة
 

cari makalah

Search Term:

Most Reading

Diberdayakan oleh Blogger.