try this

TAHKIM

I. PENDAHULUAN


Konflik adalah fenomena yang tidak dapat dihindarkan (invitable phenomenon) dalam kehidupan manusia karena ia memang merupakan bagian yang inheren dari eksistensi manusia sendiri. Mulai dari tingkat mikro, interpersonal sampai pada tingkat kelompok,
organisasi, komunitas dan negara.


Permulaan sengketa biasanya dari suatu situasi adanya conflic tof interest yang berasal dari berbagai faktor individual maupun pengaruh lingkungan yang menguasai emosi para pihak.


Pada umumnya perkara perdata atau tindak pidana bahkan persengketaan diselesaikan melalui jalur hukum (pengadilan) dan jalur kekeluargaan (perdamaian). Yang sekiranya suatu perkara tersebut dapat diselesaikan melalui jalur kekeluargaan, maka jalur itulah yang sebaiknya dipilih. Namun bila tidak bisa, maka jalur pengadilanlah yang dipilih dengan segala konsekuensinya.


Selain penyelesaian perkara melalui jalur hukum dan jalur kekeluargaan tersebut ada jalur penyelesaian perkara lain yang disebut dengan arbitrase. Jalur arbitrase ini biasanya dipakai untuk menyelesaikan sengketa- sengketa perdata nasional dan internasional dengan harapan dapat memberikan putusan atau setidak-tidaknya sengketa diklarifikasi dengan mempersempit persoalan tersebut.


II. RUMUSAN MASALAH


A. Pengertian dan Landasan Tahkim (Arbitrase)


B. Fungsi Tahkim (Arbitrase)


C. Ragam Tahkim (Arbitrase)






III. PEMBAHASAN


A. Pengertian dan Landasan Tahkim (Arbitrase)


Berbicara mengenai arbitrase atau lembaga arbitrase, sebenarnya sudah ada dan telah dipraktekkan selama berabad-abad (bahkan arbitrase pertama kali diperkenalkan oleh masyarakat Yunani sebelum masehi).


Adapun Sejarah hukum penyelesaian sengketa yang dilandasi melalui arbitrase dimulai semenjak Indonesia terlepas dari penjajahan bangsa Belanda dan Jepang hingga kemudian meraih kemerdekaannya pada tahun 1945. Pada saat itu, Indonesia tidak memiliki undang-undang ataupun peraturan apapun yang dapat digunakan sebagai sistem hukum Negara, hingga pada akhirnya, Indonesia mengadopsi hukum peninggalan Belanda dan kemudian menganut sistem hukum Eropa Kontinental sebagai dasar sistem hukumnya hingga dikeluarkannya hukum yang lebih baru untuk mengakomodir permasalahan hukum yang berkembang seiring waktu.[1]


Istilah arbitrase berasal dari kata “Arbitrare” (bahasa Latin) yang berarti “kekuasaan untuk menyelesaikan sesuatu perkara menurut kebijaksanaan”. Definisi secara terminologi dikemukakan oleh H.M.N. Purwosutjipto menggunakan istilah perwasitan untuk arbitrase yang diartikan sebagai suatu peradilan perdamaian, di mana para pihak bersepakat agar perselisihan mereka tentang hak pribadi yang dapat mereka kuasai sepenuhnya diperiksa dan diadili oleh hakim yang tidak memihak yang ditunjuk oleh para pihak sendiri dan putusannya mengikat bagi kedua belah pihak.[2]


Arbitrase merupakan istilah yang dipakai untuk menjabarkan suatu bentuk tata cara damai yang sesuai atau sebagai penyediaan dengan cara bagaimana menyelesaikan sengketa yang timbul sehingga mencapai suatu hasil tertentu yang secara hukum final dan mengikat. 


Menurut Priyana “arbitrase adalah salah satu mekanisme alternatif penyelesaian sengketa yang merupakan bentuk tindakan hukum yang diakui oleh undang – undang dimana salah satu pihak atau lebih menyerahkan sengketanya ketidak sepahamannya dengan satu pihak lain atau lebih kepada satu orang (arbiter) atau lebih (arbiter-arbiter majelis) ahli yang profesional, yang akan bertindak sebagai Hakim atau peradilan swasta yang akan menerapkan tata cara hukum negara yang berlaku atau menerapkan tata cara hukum perdamaian yang telah disepakati bersama oleh para pihak tersebut terdahulu untuk sampai kepada putusan yang final dan mengikat.[3]


Penyelesaian sengketa sebagaimana dalam praktek arbitrase dalam Hukum Islam dapat disepadankan dengan tahkim. Satria Effendi M.Zein, mengatakan, kata tahkim berarti menjadikan seseorang sebagai penengah dari suatu sengketa. Dengan kata lain dapat didefinisikan “bersandarlah dua orang yang bertikai kepada seseorang yang mereka ridhoi keputusannya untuk menyelesaikan pertikaian mereka.[4]


Adapun landasan dasar hukum lembaga arbitrase menurut syariat Islam dapat disandarkan pada teks hukum yang antara lain terdapat dalam surat An Nisa’ 35 yang berbunyi:


÷bÎ)ur óOçFøÿÅz s-$s)Ï© $uKÍkÈ]÷t/ (#qèWyèö/$sù $VJs3ym ô`ÏiB ¾Ï&Î#÷dr& $VJs3ymur ô`ÏiB !$ygÎ=÷dr& bÎ) !#y‰ƒÌãƒ $[s»n=ô¹Î) È,Ïjùuqムª!$# !$yJåks]øŠt/ 3 ¨bÎ) ©!$# tb%x. $¸JŠÎ=tã #ZŽÎ7yz ÇÌÎÈ 


Artinya: ”Jika kamu khawatir ada persengketaan di antara keduanya , maka kirimlah seorang Hakam dari keluarga laki-laki dan seorang Hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-istri tersebut. Sesungguhnya Allah maha mengetahui lagi maha mengenal”.






Sementara ayat lain yang terdapat dalam Al-Qur’an untuk dijadikan landasan pelaksanaan arbitrase adalah QS. Al-Hujurat: 9 ,dan QS. An-Nisa’ ayat 114 dan 128 . Dari ayat – ayat di atas dapatlah dikemukakan bahwa yang dimaksud dengan Hakam dalam ayat ini adalah juru damai diantara kedua suami isteri ynag bersengketa tersebut. Namun demikian kalaupun dasar ini dipakai untuk menyelesaikan sengketa-sengketa di bidang lain misalnya ekonomi Islam berarti cara yang digunakan adalah penafsiran Analogi atau Qiyas. 


Dalam hal penyelesaian sengketa lewat lembaga arbitrase tidaklah terlepas dari perjanjian arbitrase. Perjanjian memilih arbitrase ini dengan keharusan para pihak menerima keputusan arbiter dan bukan menerima nasihatnya.[5]


Sebagaimana yang dikutip dalam As-Sunnah Hadis riwayat An-Nasa’i menceritakan dialog Rasulullah dengan Abu Syureih. Rasulullah bertanya kepada Abu Syureih: “Kenapa kamu dipanggil Abu Al-Hakam?” Abu Syureih menjawab: “sesungguhnya kaumku apabila bertengkar, mereka datang kepadaku, meminta aku menyelesaikannya, dan mereka rela dengan keputusanku itu”. Mendengar jawaban Abu Syureih itu Rasulullah berkata: “Alangkah baiknya perbuatan yang demikian itu”. Demikian Rasulullah membenarkan bahkan memuji perbuatan Abu Syureih, Sunnah yang demikian disebut dengan as-sunnah taqririyah.[6]


Di Indonesia, perangkat aturan mengenai arbitrase yang tercatat dalam UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Pasal 1 angka 1 mendefinisikan bahwa arbitrase sebagai cara penyelesaian sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Sedangkan lembaga arbitrase adalah badan yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa untuk memberikan putusan mengenai sengketa tersebut. Sebgaimana halnya badan arbitrase nasional (basyarnas) yang merupakan bentuk lembaga arbitrase yang dimaksud dalam UU. No. 30/1999. 


B. Fungsi Tahkim (Arbitrase)


Arbitrase merupakan salah satu mekanismenya yang didasarkan kepada kesepakatan bersama, yang dapat dijadikan alat perdamaian untuk menyelesaikan suatu sengketa yang timbul pada masa kini dan masa mendatang.


Arbitrase berfungsi sebagai salah satu Alternatif Penyelesaian Sengketa sehingga mampu menjadi solusi bagi penyelesaian sengketa perdata nasional di Indonesia atau mampu menyelesaikan perselisihan atau sengketa keperdataan dengan prinsip mengutamakan usaha-usaha perdamaian atau islah.


Arbitrasi juga dapat berperan dalam memeriksa, mengadili dan memutuskan perkara atau sengketa yang diajukan kepada arbitrer.


C. Ragam Tahkim (Arbitrase)


Arbitrase dapat berupa arbitrase sementara (ad-hoc) maupun arbitrase melalui badan permanen (institusi). Arbitrase Ad-hoc dilaksanakan berdasarkan aturan-aturan yang sengaja dibentuk untuk tujuan arbitrase, 


Dalam keberadaannya arbitrase terdiri dari dua macam yakni : 


a. Arbitrase ad hoc atau arbitrase sementara


Arbitrase ad hoc merupakan arbitrase yang dibentuk secara khusus utuk dapat menyelesaikan atau memutuskan perselisihan tertentu. Oleh karena itu sifat dari arbitrase ad hoc bersifat insidentil, dimana kedudukan dan keberadaannya hanya untuk melayani dan memutuskan kasus perselisihan tertentu, apabila telah menyelesaikan sengketa dengan diputuskan perkara maka keberadaan dan fungsi arbitrase ad hoc lenyap dan berakhir dengan sendirinya.


misalnya UU No.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa atau UNCITRAL Arbitarion Rules. Pada umumnya arbitrase ad-hoc ditentukan berdasarkan perjanjian yang menyebutkan penunjukan majelis arbitrase serta prosedur pelaksanaan yang disepakati oleh para pihak. Penggunaan arbitrase Ad-hoc perlu disebutkan dalam sebuah klausal arbitrase.


b. Arbitrase institusional, 


Arbitrase institusional merupakan suatu lembaga atau badan arbitrase yang bersifat permanen yang dikelola oleh berbagai badan arbitrase berdasarkan aturan-aturan yang mereka tentukan sendiri. Sehingga arbitrase institusional tetap berdiri untuk selamanya dan tidak bubar, meskipun perselisihan yang ditangani telah selesai diputus. 


Saat ini lembaga tersebut dikenal dengan berbagai aturan arbitrase yang dikeluarkan oleh badan-badan arbitrase seperti Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) di Indonesia, atau yang internasional seperti The Rules of Arbitration dari The International Chamber of Commerce (ICC) di Paris, The Arbitration Rules dari The International Centre for Settlement of Investment Disputes (ICSID) di Washington. Badan-badan tersebut mempunyai peraturan dan sistem arbitrase sendiri-sendiri. BANI (Badan Arbitrase Nasional Indonesia) memberi standar klausul arbitrase sebagai berikut: "Semua sengketa yang timbul dari perjanjian ini, akan diselesaikan dan diputus oleh Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) menurut peraturan-peraturan prosedur arbitrase BANI, yang keputusannya mengikat kedua belah pihak yang bersengketa, sebagai keputusan dalam tingkat pertama dan terakhir". Standar klausul arbitrase UNCITRAL (United Nation Comission of International Trade Law) adalah sebagai berikut: "Setiap sengketa, pertentangan atau tuntutan yang terjadi atau sehubungan dengan perjanjian ini, atau prestasi, pengakhiran atau sah tidaknya perjanjian akan diselesaikan melalui arbitrase sesuai dengan aturan-aturan UNCITRAL.”


Sementara di Indonesia sendiri terdapat dua lembaga arbitrase yang memberikan jasa arbitrase yaitu: Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) dan Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI).[7]






D. KESIMPULAN


Arbitrase merupakan istilah yang dipakai untuk menjabarkan suatu bentuk tata cara damai yang sesuai atau sebagai penyediaan dengan cara bagaimana menyelesaikan sengketa yang timbul sehingga mencapai suatu hasil tertentu yang secara hukum final dan mengikat. 


Penyelesaian sengketa sebagaimana dalam praktek arbitrase dalam Hukum Islam dapat disepadankan dengan tahkim yang berlandaskan pada pedoman dalam Al-Qur’an yang tertera dalam QS. An-Nisa: 35, 114 dan 128, QS. Al-hujurat : 9 serta As-Sunnah namun di Indonesia landasan dasar tertulis dalam UU No. 30 Tahun 1999. 


Sementara adanya arbitrase dalam ruang lingkup hukum berfungsi untuk menyelesaikan perselisihan atau sengketa keperdataan dengan prinsip mengutamakan usaha-usaha perdamaian atau islah.


Arbitrase terbagi menjadi dua macam yaitu arbitrase sementara (ad-hoc) dan arbitrase (institusi) yang melalui badan permanen seperti BANI di Indonesia, ICC di Paris, ICSID di Washington. 






E. PENUTUP


Syukur Alhamdulillah penulis haturkan kepada Allah SWT dengan rahmat, taufiq serta hidayah-NYA sehingga penulis bisa menyelesaikan makalah ini. Dan tentunya dalam penyusunan makalah ini tidak luput dari sifat-sifat yang selalu melekat pada manusia, yaitu kekurangan dan kesalahan. Untuk itu penulis mengharap kritik dan saran yang konstruktif demi kebaikan bersama. Semoga sedikit pembahasan tentang TAHKIM atau ARBITRASE ini dapat memberikan pengetahuan baru bagi kita semua . Amin. 


DAFTAR PUSTAKA


Effendi, Satria MZ. Arbitrase dalam Islam; Mimbar Hukum No.16 Tahun V, Jakarta, Al – Hikmah, 1994


Poerwosutjipto, H.M.N. Pokok-pokok Hukum Dagang, Perwasitan, Kepailitan dan Penundaan Pembayaran, Jakarta: Djambatan, 1992


Priyatna, Abdurrasyid. Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Jakarta: Fikahati Aneska, 2002


Rosyadi, A. Rahmat. Arbitrase dalam perspektif Islam dan hukum positif. Bandung : Citra Aditya Bakti, 2002


Salman Saesar, Arbitrase Sengketa Ekonomi Islam, http://sumsel.kemenag.go.id/file/dokumen/arbitrasesengketaekonomiislam.pdf, 7:48, 12-05-2013,


Hendra wibowo, Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas,




17:30, 13-05-2013, 


[1] A. Rahmat Rosyadi, Arbitrase dalam perspektif Islam dan hukum positif (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2002), hlm. 11


[2] H.M.N. Poerwosutjipto, Pokok-pokok Hukum Dagang, Perwasitan, Kepailitan dan Penundaan Pembayaran, (Jakarta: Djambatan, 1992), hlm.1.


[3]Abdurrasyid Priyatna, Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, (Jakarta: Fikahati Aneska, 2002), hlm. 56 


[4] Satria MZ. Effendi, Arbitrase dalam Islam; Mimbar Hukum No.16 Tahun V, (Jakarta, Al – Hikmah, 1994), hlm. 16 


[5] SalmanSaesar, Arbitrase Sengketa Ekonomi Islam, http://sumsel.kemenag.go.id/file/dokumen/arbitrasesengketaekonomiislam.pdf, 7:48, 12-05-2013, 

[6] Hendra wibowo, Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas,




[7] Salman Saesar, Arbitrase Sengketa Ekonomi Islam, http://sumsel.kemenag.go.id/file/dokumen/arbitrasesengketaekonomiislam.pdf, 7:48, 12-05-2013, 






Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

cari makalah

Search Term:

Most Reading

Diberdayakan oleh Blogger.